Posted by : Perpustakaan Taman Ilmu
Rabu, 30 Mei 2012
Hemat Air dan Tidak Bau
Dengan teknologi sederhana, limbah sekam padi bisa dimanfaatkan menjadi toilet ramah lingkungan karena lebih hemat air dan tidak berbau.
Indonesia dikenal sebagai negeri yang dikelilingi cincin api (Ring of fire). Karenanya, Indonesia selain dikenal subur, juga merupakan kepulauan yang kerap tertimpa bencana alam. Gempa bumi, gunung meletus hingga tsunami yang menerjang seringkali meluluhlantahkan negeri. Sehingga, dimana pun bencana selalu meninggalkan jejak kepiluan, ditambah suasana di tenda-tenda pengungsian.
Kehidupan di pengungsian adalah keadaan darurat. Dan kebutuhan toilet merupakan salah satu kebutuhan penting yang sering menjadi masalah besar di tempat pengungsian. Keterbatasan sumber air serta fasilitas toilet umum yang biasanya disediakan di lokasi bencana atau pengungsian menjadi salah satu penambah derita para pengungsi.
Sadar akan hal itu, sekelompok mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogow (IPB) pun merancang toilet yang cocok untuk kawasan pengungsian. Toilet atau jamban yang mereka rancang jelas sekali berbeda dengan jamban pada umumnya. Jamban yang diberi nama biotoilet itu merupakan jamban yang hemat air fan ramah lingkungan.
Adalah Fauziah Nur Annisa, Septia Suhandono, dan Yani Mulyani yang membuat inovasi biotoilet berbasis sekam padi dan alkohol hasil fermentasi limbah agar-agar (Gracillaria sp). Jamban ini merupakan jawaban atas kelangkaan air bersih sekaligus menjaga sanitasi air di pegungsian. Berkat inovasi ini mereka diganjar penghargaan innovator terbaik pada Lomba Inovasi Teknologi Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS Surabaya), pertengahan 2011 lalu.
“Jamban yang kami tawarkan adalah jamban kering berbasis alkohol hasil fermentasi limbah agar-agar yang berwawasan lingkungan,” kata salah seorang peneliti Fauziah.
Lebih lanjut aktivis Indonesia Climate Student Forum itu menjelaskan biotoilet tidak memerlukan air yang banyak seperti toilet pada umumnya. Biotoilet bekerja berdasar pada prinsip sanitasi berkelanjutan dan sirkulasi material alami.
“Inspirasinya dari WC tradisional alias cubluk yang banyak dipakai di Indonesia sejak dahulu. Bedanya, cubluk setelah penuh ditutup dan pindah ke tempat lain tanpa pengolahan limbah sehingga mencemari lingkungan. Kalau biotoilet mengembangkan desain toilet sistem kering,” kata Fauziah.
Desain Biotoilet
Biotoilet dirancang khusus sehingga tidak menimbulkan pencemaran karena kotorannya di tamping ke dalam “Dry box” atau semacam kotak reaktor yang terbuat dari baja dan lapisan stainless steel yang cukup tebal. Kotak reaktor itu diisi dengan sekam padi yang berfungsi untuk menyerap cairan dan bau yang dihasilkan dari kotoran.
Model kloset duduk atau jongkok bisa dipakai dalam system biotoilet. Yang perlu disesuaikan, bagian lubang kloset yang berbentuk leher angsa dihilangkan dan dibiarkan bolong supaya kotoran dapat langsung masuk ke media bawahnya.
Dibawah kloset ditempatkan kotak reactor untuk menaruh media/ matriks berbasis zat selulosa dalam hal ini sekam padi yang memenuhi tiga perempat ruang. Volume sekam padi diperhitungkan berdasarkan frekuensi pemakaian, yang sudah disesuaikan juga dengan besarnya reactor (biotoilet). Misalnya, tipe 50 untuk 25-40 orang/hari memerlukan sekitar seperempat meter kubik sekam padi.
“Jadi, ada hitungannya dan tidak linear. Kami sudah membuat kolerasi antara jumlah pengguna dan frekuensi penggunaan,” papar septian, rekan setim Fauziah.
Untuk sirkulasi udara dan mengalirkan bau akibat proses degradasi di kotak reactor, diperlukan pembuatan cerobong dengan pipa kecil. Disbanding toilet biasa desain biotoilet memang perlu ruang lebih besar. Toilet diletakkan dengan posisi tinggi sekitar satu meter untuk menempatkan ruang reactor di bagian bawah toilet. Kotoran langsung ditangkap dekam padi di kotak reactor yang berada di bawah lubang toilet. Limbah sekam padi yang mengandung selulosa nantinya menjadi media penangkap dan pengurai tinja dan urine. Daya tmapung dry box atau kotak kering juga cukup besar yakni mencapai 500 liter dan bisa dipergunakan untuk 50 orang per hari.
“Limbah secara alami terurai menjadi CO2 dan H2O dan tidak memerlukan bakteri khusus, juga tidak menimbulkan bau,” katanya.
Dalam sekam padi terdapat sekitar 35-45 persen delulosa yang luas permukaan dan porositas tinggi (85-90 persen ruang udara) yang mampu menahan air sebesar 35-40 persen. Dalam jumlah yang cukup, selulosa mampu menyerap cairan dan bau yang dihasilkan dari kotoran seperti halnya konsep kerja biotoilet.
Selain itu, basis dari biotoilet adalah alkohol hasil fermentasi limbah agar-agar (Gracillaria sp). Alkohol inilah yang membantu reaksi kimia alamiah di dalam kotak reactor, sehingga nantinya sekam padi yang sudah habis masa pakainya bisa menjadi pupuk kompos.
Sumber : Setia Lesmana, Sains Indonesia
Related Posts :
- Back to Home »
- Bulletin , Ensiklopedia , Teknologi »
- PENEMUAN BIOTOILET